Winter Yang Enggan Pergi



Winter pertama di negeri orange ini termasuk musim yang berat buat saya. Kegagalan dibeberapa mata kuliah ditambah suhu yang menusuk tulang membuat saya sempat depresi berat. Cuaca di Belanda memang terkenal sendu. Mendung hampir selalu menggelantung setiap hari dan matahari enggan sekali menampakkan dirinya selama musim dingin. Hal ini menambah perasaan semakin kalut dan keteguhan terhadap apa yang sudah diperjuangkan menjadi sedikit kendor. Rasanya ingin keluar saja, melarikan diri dan kembali ke kampung halaman. Tapi hal itu tak mungkin.

Menjadi satu-satunya murid perempuan di kelas membuat saya berkali-kali merasa telah salah mengambil jurusan. Bahkan salah satu dosen pun berkata "Wow, you're the real woman in here. How you end up in Netherlands?", "Well, its quite long story", saya hanya bisa menjawab dengan singkat untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut. Banyak yang bilang sekolah di Belanda memang tergolong susah. Time management menjadi perhatian nomor satu disini. Beban SKS disini 2 kali lipat beban SKS di Indonesia. Banyak materi-materi kuliah yang saya tak mengerti, bahkan saya belum pernah mendapatkan basicnya ketika S1 dulu. Tapi ya apa boleh buat, sesuatu yang sudah saya pilih dan sudah dimulai, harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum memulai mimpi-mimpi yang lain.

Ini bulan Maret, tapi angin di Belanda masih menusuk tulang sehingga membuat kayuhan sepeda terasa berat. Jujur saja, saya salut dengan orang Belanda. Mereka sangat mandiri dan memiliki daya juang yang tinggi. Benar-benar memaksimalkan waktu untuk memaksimalkan potensi diri yang ada. Bahkan pernah ketika saya sedang kerja kelompok, salah satu teman saya hanya memiliki waktu satu jam untuk mengerjakan tugas bersama. Tapi dia gunakan satu jam itu secara maksimal. Saat itu dia benar-benar datang on time, dan selama satu jam dia tidak pernah sekalipun melirik ke HPnya. Tak ada distraksi, dia benar-benar fokus. 

Deadline yang padat, tidur sehari antara 4 hingga 5 jam saja sudah sangat bersyukur. Bangun tidurpun masih merasa bersalah karena tugas yang dikerjakan belum selesai sedangkan tugas lain sudah menumpuk. Terang saja sekarang saya paham mengapa orang Belanda terkenal straightforward dan simpel. Ya karena mereka tidak suka bertele-tele sehingga memperpanjang waktu. Well, intinya saya sadar memang disini saya harus lebih membuka diri, dalam artian berani bertanya langsung apabila ada yang kurang paham. Selama ini saya memang malu bertanya, mungkin karena masih terbiasa dengan culture perkuliahan di Indonesia yang malu-malu untuk bertanya, takut pertanyaannya tidak bermutu, terlihat bodoh ataupun takut dianggap show off. Tapi ternyata semua itu tak berlaku ketika kuliah di Eropa. Tak heran disini ketika perkuliahan berlangsung, apabila ada pertanyaan, siswa langsung memotong penjelasan dosen dengan mengangkat tangan mereka. Dan bahkan mereka tak segan-segan untuk memberikan feedback terhadap materi ataupun tools yang digunakan, meskipun kesan mereka negatif.



Kendala lain sulitnya catch-up dengan pelajaran yaitu bahasa. Ya, disini memang memakai bahasa Inggris. Tapi tidak semudah itu. Butuh waktu sepersekian menit bagi saya untuk mengolah kata-kata dosen dan juga memahami maknanya, karena masih belum terbiasa. Berbeda dengan teman-teman disini yang langsung mencerna materi yang diajarkan begitu dosennya berbicara. Jadi, bisa diibaratkan seperti kelinci dan kura-kura. Mereka kelinci dan saya kura-kura.

Bagi yang ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri, saran saya adalah jangan hanya berfokus pada bagaimana cara mendapatkan beasiswa atau cara memenuhi persyaratan beasiswa, tapi fokuslah juga pada materi-materi kuliah yang akan diambil nantinya bagaimana, sistem perkuliahannya bagaimana. Karena itu akan sangat berguna, sehingga tidak begitu kaget dengan sistem pendidikan yang jauh lebih berat. Dan menurut saya, justru fase selama perkuliahan itulah yang lebih susah daripada fase mengejar beasiswa.



Comments

Popular Posts